Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi (BIDADARI BUMI) -- MUNGKIN tidak ada diskursus yang paling fenomenal sejak dunia ini diciptakan hingga hari ini selain diskursus tentang kitab dan perempuan. Dari sisi penafsiran, kitab suci sering dituduh bias gender: terlalu berpihak kepada laki-laki. Namun ketika ditanya: Siapakah diantara kaum perempuan yang dapat dijagokan sebagai eksponen penafsir kitab suci jawabannya sering meragukan. Belum lagi ada semacam stigma bahwa kitab suci mengkrankeng dan memasung kaum perempuan. Apakah benar demikian? Pertanyaan ini sepertinya menarik untuk dijawab. Dan jawabannya akan penulis carikan dari Bible dan Al-Qur’an. Tentunya ini hanya sekadar komparasi kecil. Tidak mencakup seluruh ide dan gagasan tentang keterkaitan kitab suci dan perempuan. Dari sisi penciptaan, Bible dan Al-Qur’an sepertinya punya tokoh yang sama tentang perempuan. Dua-duanya menyebut Hawa (English: Eva). Bedanya, Bible (dalam Kitab Kejadian/Genesis) menyebutnya secara eksplisit tetapi Al-Qur’an lebih memilih implisit. (Lihat, Qs. al-Nisā’ (4): 1). Bible menyebut Hawa karena dia merupakan sumber segala yang hidup (Kitab Kejadian 3: 20). Berkaitan dengan hak demokrasi, dalam istilah modern, kaum perempuan di dalam Bible mengalami nasib yang kurang beruntung. Karena mereka tidak diberi hak untuk berbicara, khususnya di rumah ibadah (gereja). (Korinthus 14: 34). Jika pun mau bertanya, mereka harus bertanya kepada suami-suami mereka di rumah masing-masing. Alasannya: karena jelek bagi perempuan untuk berbicara di dalam gereja (Korinthus 15: 35). Ketika belajar pun mereka harus diam dan tunduk. Bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengajar dan menguasai laki-laki. Karena yang pertama kali diciptakan adalah Adam baru kemudian Hawa. (Timothius 2: 11-13). Lebih dari itu, di dalam Bible juga disebutkan bahwa sebenarnya Adam tidak tersesat, akan tetapi perempuannya (Hawa) yang tersesat. (Timothius 14: 2). Taat kepada suami pun setara dengan taat kepada Tuhan, karena dalam Bible laki-laki adalah kepala perempuan, sebagaimana Kristus dipandangan sebagai pemimpin gereja bahkan penyelamat jasad. (Efesus 5: 22-24). Berkaitan dengan siapakah yang lebih mulai dan utama: laki-laki atau perempuan, Bible menjawab laki-laki lebih mulia dari perempuan. Karena pemimpin setiap laki-laki adalah Kristus. Dan pempin perempuan adalah laki-laki. Dan, pemimpin Kristus adalah Allah. (1 Korintus 11: 3). Laki-laki dalam Bible dilarang menutup kepalanya, karena itu merupakan citra (gambar) Allah dan kemuliaan-Nya. sementara perempuan merupakan kemuliaan laki-laki. Laki-laki bukan berasal dari perempuan, sebaliknya perempuan lah yang beasal dari laki-laki. Karena, laki-laki tidak diciptakan untuk perempuan, namun perempuan lah yang diciptakan untuk laki-laki. Lebih dari itu, ternyata perempuan dalam Bible merupakan “warisan”. (Lukas 20: 29-35). Kalau begitu, apa “warisan” yang diterima oleh perempuan dalam agama Kristen? Jika pun ada, apakah ada dalilnya secara kitabiyyah (berdasarkan Alkitab)? Al-Qur’an Menghargai Perempuan Berbanding terbalik dengan Bible, Al-Qur’an sangat memulikan perempuan. Dari sisi penciptaan, Hawa tidak dipangan sebagai bagian dari tulak rusuk Adam. Ia sama-sama dari jiwa yang satu (nafs wāḥidah). Dari keduanya (Adam dan Hawa) Allah mengeluarkan banyak keturunan: laki-laki dan perempuan (QS: al-Nisā’ (4): 1). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa laki-laki tidak lebih mulai dan lebih terhormat daripada perempuan. Karena dalam Islam ukuran kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin (sex or gender), namun dari sisi ketakwaan. (Qs. al-Ḥujurāt (49): 13). Laki-laki maupun perempuan yang bekerja (beramal), kata Allah, tetap amalnya tidak disia-siakan sedikitpun (Qs. Āl ‘Imrān (3): 195). Lebih dahsyat, di dalam Al-Qur’an malah Allah menjadikan kaum perempuan sebagai contoh (matsal) bagi kaum beriman, yaitu: Āsyiah istri Fir’aun dan Maryam puteri ‘Imrān sekaligus ibunda nabi ‘Īsā as. Āsyiah karena keteguhan imannya, di bawah tindasan laki-laki zalim dan durhaka kepada Allah. Sementara Maryam adalah wanita suci: mampu menjaga kehormatan dirinya dengan membentengi kemaluannya (Qs. al-Taḥrīm (66): 11-12). Di sini Allah menyebutkan kedua wanita penting ini bukan sebagai contoh bagi perempuan saja, tapi bagi seluruh kaum beriman, laki-laki dan perempuan. Adam di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai pelaku maksiat (tidak taat) kepada Allah ketika dilarang mendekati pohon larangan. Namun karena digoda terus oleh setan, Adam pun luluh dan mendekati pohon itu. Kemudian dia menjadi gologan orang-orang yang zalim, terhadap dirinya sendiri. Akhirnya, dia beserta Hawa plus iblis diturunkan dari surge (Qs. al-Baqarah (2): 35-36). Oleh karena itu ketika Adam mohon ampun dan bertobat, Allah menerima tobatnya (Qs. al-Baqarah (2): 37). Dalam ayat yang lain juga disebutkan hal yang sama: Adam yang bermaksiat dan akhirnya disesatkan iblis. Namun lagi-lagi, karena Allah Maha Adil dan Maha Kasih-sayang, tobat Adam diterima oleh Allah (Qs. Ṭāhā (20): 121-122). Berbeda dengan Bible, yang mengatakan bahwa Hawa ‘pangkal’ dosa dan kesalahan. Di sini saja Al-Qur’an sangat adil. tidak ada bias kepentingan dan pembelaan terhadap Adam karena dia laki-laki dan dipandang sebagai citra dan image Allah. justru di dalam Al-Qur’an, laki-laki bagian dari perempuan dan perempuan bagian dari laki-laki. Saling-melengkapi dan saling tolong-menolong, saling bela-membela, saling-mengisi, sehingga menjadi serasi dan harmoni (Qs. al-Tawbah (9): 71). Dengan gambaran yang sangat indah, Allah menggambarkan hubungan keduanya: perempuan kalian (istri) adalah pakaian kalian, dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi istri-istri kalian (Qs. al-Baqarah (2): 187). Bahkan, dari sisi hak untuk berbicara, Allah memberikan hak bagi perempuan, meskipun itu harus mendebat (Lihat, Qs. al-Mujādilah (58): 1). Dari sisi hubungan-perkawinan, laki-laki harus menghormati perempuan (istrinya) karena ikatan-perkawinan antara-keduanya merupakan perjanjian yang kokoh (mītsāqan ghalīẓan, Qs. al-Nisā’ (4): 21). Ikatan ini adalah ikatan dan perjanjian fiṭrah (kesucian) yang mengikat keduanya: janji untu saling-mencintai (mawaddah), saling-menyayangi (raḥmah), dan saling-memberi ketentraman (sakīnah) (Lihat, Qs. al-Aʻrāf (7): 189 dan Qs. al-Rūm (30): 21). Dari sisi warisan (mīrāts), kaum perempuan sangat dimuliakan di dalam Al-Qur’an. Lebih istimewa lagi pembagian warisan itu disebutkan dalam Sūrat Para Wanita (Sūrat al-Nisā’). Berbeda dengan iklim jahiliyyah ketika Al-Qur’an belum diturunkan: perempuan tidak mendapat warisan, sebaliknya malah diwariskan. (Lebih luas, lihat ‘Abd al-Mutaʻāl al-Ṣaʻīdī, al-Mīrāts fī al-Syarīʻah al-Islāmiyyah wa al-Syarā’iʻ al-Samāwiyyah wa al-Waḍʻiyyah (Kairo: al-Maṭbaʻah al-Maḥmūdiyyah al-Tijāriyyah, cet. II, 1352 H/1953 M. lihat juga, Syekh Aḥmad Muḥy al-Dīn al-‘Ajūz, al-Mīrāts al-‘Ādil fī al-Islām bayna al-Mawārīts al-Qadīmah wa al-Ḥadītsah wa Muqāranatuhā maʻa al-Syarā’iʻ al-Ukhrā (Beirut: Mu’assasah al-Maʻārif li al-Ṭibāʻah wa al-Nasyr, cet. I, 1406 H/1986 M). Sungguh, Al-Qur’an benar-benar memuliakan perempuan. Dan seharusnya perempuan bangga ketika ada kitab suci yang mengormati dan menghargainya. Hal ini demikian, karena Al-Qur’an bukan buatan manusia. Dia Firman Allah yang sakral. Dan Allah pasti mengerti kebutuhan hamba-hamba-Nya, maka di dalam kitab-Nya Dia lengkapi dengan ayat-ayat yang memang menyatu dengan kehidupan para hamba itu. Karena Al-Qur’an memang untuk manusia (Qs. al-Baqarah (2): 185) yang membawa seluruh manusia kepada kehidupan yang lebih baik (yahdī lillatī hiya aqwam, Qs. al-Isrā’ (17): 9). Wallāhu aʻlamu bi al-Ṣawāb.* Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme” (Jakarta: Cakrawala Publishing, 1434 H/2012 M). Red: Cholis Akbar |
HIDAYATULLAH |
Kamis, 24 Januari 2013
BIBEL, AL-QUR'AN DAN PEREMPUAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar