TEMANKU Anisa asal Barbados yang juga muallaf mengundangku kerumahnya di Tooting, untuk acara perpisahan. Keluarga ini akan berhijrah ke Kairo, ingin mencicipi kehidupan dengan nuansa 'Islami' katanya.
Aku dikenalkan dengan teman-temannya yang multi bangsa dan warna. Ada yang tulen Inggris, wanita Aljazair berkebangsaan Prancis, Jamaika, Ethiopia dan Nigeria. Unik sekali.
Aku tertarik dengan penampilan Joana Rowntree, Muslimah Inggris asli yang mengenakan busana Muslim penuh. Mirip abaya, longgar, berwarna abu-abu dengan jilbab berwarna biru muda. Aku menyapa dan memperkenalkan diri.
Joanna, perempuan Inggris berusia sekitar (26 tahun), baru saja memeluk agama Islam sekitar 3 tahun. Joanna berprofesi sebagai Medical Reseach bekerja di Guy Hospital, London Bridge.
Ia mengalami perjalan spiritual yang panjang. Alkisah, usai sekolah SMU di Inggris, ia tidak langsung ke universitas tapi memutuskan untuk melanglang buana. Dia percaya bahwa merantau bisa memperluas cakrawala. “Travel can broaden your mind,” ujarnya.
Iapun mendaftarkan diri untuk jadi volonteer dengan British Council. Mengajar bahasa Inggris adalah satu satunya cara untuk keluar negeri, kenangnya bercerita ketika awal masuk Islam.
"Saya ingin cari pengalaman dengan merantau", tambahnya. Joanna akhirnya memilih ke Serawak, Malaysia.
"Tempatnya jauh sekali, di sebuah desa di pedalaman pulau Borneo," papar Joanna sambil mengawasi anaknya yang berambut pirang.
"Malay people are very kind and gentle. Orang Melayu baik-baik dan lemah lembut, saya betah di sana. Sampai-sampai saya tinggal disana kurang lebih 10 bulan, " tambahnya.
Lalu apa yang membuatnya masuk Islam?
Suatu hari, saat istirahat, murid-murid selalu mendatanginya. Biasanya, mereka selalu datang menyampaikan salam. Suatu hari, rupanya mereka menyodorkan buku kecil dan tipis.
"Miss..miss kenal dengan nabi Muhammad, Rasul kami? " tanya salah satu mereka, mereka berdesakan dan masing-masing ingin dapat perhatian.
"Siapa tuh Muhammad...saya tidak tahu," dengan sabar Joanna menjawab pertanyaan mereka.
"Ini miss.. baca buku ini...di sini ada sejarah tentang nabi kami, Muhammad," ujar mereka menghadiahi buku kecil tentang Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pada Joanna.
Karena menggunakan bahasa Melayu, rupanya Joanna kurang memahami. Ia akhirnya menolak dengan lembut agar anak-anak tidak tersinggung.
"....tapi miss, Anda kan guru bahasa Inggris Anda mesti belajar bahasa kami, bahasa Melayu. Ini hadiah dari kami dan bacalah." Akhirnya buku itu diterima oleh Joanna sambil tercenung berfikir betapa baiknya mereka ini.
Joanna sangat menghargai pemberian itu, seakan ia diberi perhatian khusus oleh anak-anak, dia sangat terharu.
Sejak itulah Joanna tertarik dengan agama Islam. Ia menyempatkan diri ke toko buku saat Joana berada di Kuala Lumpur. Pesan anak-anak itu cukup membekas di hatinya.
Ternyata banyak sekali buku-buku tentang Islam yang berbahasa Inggris. Joanna membeli kamus Inggris Melayu yang kecil. Pikirnya pasti anak anak akan senang kalau mereka tahu bahwa ia belajar bahasa Melayu. Sejak itulah Joanna mulai tertarik mengenal Islam hingga mengucapkan dua kalimah syahadat.
Di mana-mana
Lain lagi cerita Nini, wanita asal Indonesia yang juga residen (pemukim yang bersuamikan Inggris) ini mempunyai cerita unik. Karyawati di sebuah Department Store ini cukup lama tinggal di sini, 10 tahun lebih. Dulunya ia seorang penari. Ramah dan lincah. Temannya di mana-mana. Setelah gabung dengan sebuah pengajian student Indonesia di kota London ia menemukan sesuatu, mengaku merasa bahagia berada di lingkungan yang nyaman serta banyak mendapatkan masukan.
Suatu hari terjadi perubahan cukup drastis. Nina berkeinginan mengenakan jilbab. Tapi ia hanya memakainya dari rumah ketempat pengajian, lalu ke supermarket atau ke station. Namun sampai di tempat bekerja ia lepas. Ada selaksa perasaan berdosa, namun Nina tengah memupuk keberaniannya.
Setiap ia datang ke pengajian, sering sang kain berbentuk segitiga itu melorot dan jatuh kepundaknya.
Suatu hari, saya menegurnya, “Mana penitinya Nin,” aku menolongnya untuk menjepitnya.
“Wow, kok malah jadi cantik sih, liat tuh di kaca, kecantikanmu malah menyeruak, “ ujarku meyakinkan. Memang betul, ia tanpak lebih cantik dan anggun. Ia tersenyum malu campur bangga.
“Jika belum berani full time, cobalah part-time dulu, biasakan dulu, supaya kita bisa PD (percaya diri) dan orang-orang di sekitar kita tidak kaget,” begitu nasehatku.
Suatu hari, ia melakukan pengamatan. Diam-diam ia mencari tahu berapa banyak jumlah Muslimah di tempatnya bekerja. Ia kaget, ternyata jumlahnya cukup banyak. Akhirnya, setiap ke kepengajian, ia sibuk membahas dan bercerita tentang jilbabnya. Nini akhirnya mulai terobsesi dengan jilbab. Ia bahkan meminta saran kapan ia bisa memulai mengenakannya ke tempat bekerja.
"Saya tunggu waktu, support aku deh," tambahnya. "Aku takut dipecat teh,"ujarnya nampak was-was. Dan saya menenangkannya dengan menjelaskan bahwa keyakinan dilindungi undang-undang. Layaknya orang-orang Yahudi di tempat ini, yang juga memakai sesuatu di kepalanya.
Suatu ketia, Nini mengambil 'day off', Nina mengajak teman-temannya untuk minum kopi. Tentu dia mengenakan jilbab. Pada saat hendak pulang, tiba-tiba dia membelok ke tempat ia bekerja untuk sekedar menyampai kan hello kepada teman kerjanya. Rupanya dia lupa kalau mengenakan jilbab. Tentu saja semua temannya terkejut. Kebetulan sang supervisor yang Muslim sedang berada di situ.
"Ooh..I didn't know you wear hijab, Nin," tegurnya. Ia jadi tersipu malu sambil mengatakan bahwa ia mengenakan jilbab.
"Why dont you wear it to work, " tantangnya.
"Really? Can I wear hijab to work?," seolah tak percaya mendengar tawaran yang dinilai sangat exciting itu.
"Well of course you can..I will talk to my manager and I am sure you have the right in this country," jawabnya meyakinkan.
Tak terbayang rasa gembira di hati Nini hari itu. Ia mendapat support penuh dari sang supervisor. Ia pulang dengan langkah yang, duh rasanya ringan sekali. Ingin sekali ia berteriak ke langit. Kini Nini mengenakan jilbab yang warnanya disesuaikan dengan seragam kerja.
Menariknya, konon langkahnya itu kemudian banyak diikuti oleh beberapa muslimah yang selama ini bersembunyi dari persembunyiannya.
Dan seperti biasanya, teman dan sahabat yang biasa pergi ke disko atau berkumpul untuk bersenang senang, mereka satu-persatu menjauhi Nini.
Diludahi
Suatu hari, seorang wanita namanya Jannifer, panggil saja sister Jane, seorang muallaf yang kukenal di depan Kedutaan Perancis, saat berdemo tentang hijab. Diam-diam, kami menjadi sahabat.
Suatu hari, melalui saluran telpon, ia bercerita tentang keyakinannya.
"Karena saya sudah bersyahadat yang artinya kesaksian dan pengakuan saya terhadap adanya Allah yang Esa serta kesaksikan saya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah, maka ini adalah sebuah komitmen dan janji saya. Artinya saya tidak bisa hanya mengambil setengah-setengah. Saya harus ambil seutuhnya, termasuk mengenakan hijab tentunya," ujarnya.
Saat mengawali masuk Islam, Jennifer tidak tahu bagaimana caranya mengenakan jilbab. Ia membeli dua helai kerudung lalu disampirkan dikepala.
Dengan mengenakan jilbab, ia mengaku lebih tenang di jalanan, tanpa menarik perhatian kaum lelaki yang selalu berfikir kalau perempuan adalah objek seks.
“Saya marasa bebas dari tekanan untuk kompetisi kecantikan. Sayapun bisa jadi lebih nampak sederhana," paparnya.
Meski demikian, ada juga yang menatap dengan pandangan bermacam- macam, tapi Jane tidak peduli.
"Tatkala saya mengenakan jilbab saya merasakan kehangatan pada jiwa dan hati saya. Ada rasa aman dan tenang, walaupun saya merasakan bahwa saya masih belum mampu memenuhi perintahNya, saya takut bahwa saya belum bisa meraih ridhoNya," ujar Jennifer.
Saya, Joanna, Nini dan Jane dan para muslimah di Inggris (dan di Negara-negara Eropa lainnya) memang sangat beruntung, secara umum penduduknya cukup demokratis melindungi pilihan kita menggunakan jilbab.
Jilbab datang dan menghampiri perempuan Inggris memang tidak seketika alias sekonyong-konyong. Meski ada tertentu beberapa muslimah tiba-tiba ingin mengenakan jilbab, namun umumnya pengaruh teman.
Meski demikian, hanya menyampirkan sehelai kain di kepala kita, di negeri ini harus memerlukan “jihad” tersendiri.
Saat terjadi insiden besar di UK, 7 Juli (kasus bom di Kereta api bawah tanah) misalnya, memaksa para Muslimah ekstra hati-hati. Tak sedikit di antara Muslimah yang menjadi sasaran public. Di jalanan Muslimah dimaki, diludahi atau diteriaki ‘Hei teroris’ atau perlakuan yang tidak nyaman lain. Namun bagi mereka yang kenal situasi negeri itu akan paham. Bahkan anak saya bisa bilang, “Just ignore them mum, they are just so ignorant.” (Mereka itu tidak tahu apa-apa, jadi cuekin saja).
Menurut data, populasi Muslim di Inggris saat ini sekitar 2,8 juta (4,6 persen total penduduk). Inggris memiliki komunitas Muslim terbesar ketiga di benua Eropa, setelah Jerman dan Prancis. Kaum Muslim bisa ditemui di mana saja, termasuk jamaah sholat Jumat meluber di jalanan.
Dan jilbab, kini merupakan bagian dari komunitas di Britania Raya sebagai negara yang beragam; baik kebangsaan, etnis dan agama serta warna. Anda bisa melihat jilbab di mana saja, mengalir. Kecuali di Bromley, terutama di desa saya di Pettswood.
Kadang saya berfikir, “Ah jangan-jangan cuma saya sendiri berjilbab, yang kebetulan penduduknya 98.5% adalah putih/Inggris.” Hanya saja, saya merasa, orang-orang di sekitar saya tidak merasa terancam dengan keberadaanku.
Meski minoritas, saya tetap membaur, bukan mengucilkan diri dengan orang-orang di sekitar, sembari menunjukan akhlak islami kita.
Doa saya dari Anda, semoga, saya dan Muslimah lain di UK tetap istiqomah menegakkan peritah menurut aurat seperti dalam surat al-Ahzab: 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. 33:59].*/ Al Syahidah, Bromley, 5 Februari 2012
Hidayatullah
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar