Jadilah Figur Teladan Anak Kita
SETIAP keluarga tentu sangat menginginkan putra-putrinya menjadi anak yang cerdas, sholeh dan sholehah. Tetapi upaya itu kini tidak mudah,
sebab kultur masyarakat di luar memiliki daya pengaruh yang jauh lebih besar. Apalagi jika kedua orangtua terbilang cukup sibuk dengan rutinitas hariannya.
Sebagian keluarga memang berhasil mempertahankan spirit untuk mencerdaskan anak-anaknya. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mengisolir anak dari budaya nonton TV, bermain game, atau memasukkannya ke sekolah full day, pesantren dan lainnya.
Tetapi tidak sedikit yang kandas bahkan larut. Booming informasi, teori pembelajaran dan perangkat belajar yang katanya dapat memberikan kontribusi percepatan kecerdasan seringkali diadopasi begitu saja, sehingga mereduksi kepekaan orangtua dalam upaya kontrol terhadap buah hatinya.
Lahirnya berbagai teknonologi informasi, mau-tak mau melahirkan gaya hidup baru bagi remaja. Para buah hati, asik dan enjoy dengan perkembangan teknologi yang melahirnya budaya liar.
Muncullah anak-anak berkepribadian ganda. Di dalam rumah dia sangat ramah, santun bahkan mungkin tergolong rajin. Namun ketika bergaul di luar rumah, sifat positif di dalam rumah seketika lenyap dan jadilah dia anak yang sepertinya tak pernah diajari tentang nilai-nilai kebaikan.
Berita cukup mengagetkan, gara-gara Facebook, banyak gadis di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta hamil di luar nikah.
Banyak orangtua tak menyadari. Bermula dari Facebook, para remaja kemudian chatting, tukar nomor hand-phone, selanjutnya janji bertemu.
Sayang, masih saja kita jumpai orangtua mengatakan, “Ah, nanti kalau sudah dewasa pasti ngerti sendiri.”
Padahal, atas alasan seperti itu tidak bisa dibenarkan. Sebab secara hakikat potensi akal tanpa disadari telah dipenjara dalam ruang hampa dan membiarkan buah hati besar dalam didikan yang tidak jelas dinamikanya. Hal ini sungguh sangat berbahaya.
Jika orangtua tidak waspada, apalagi membiarkan anak-anak kita berinteraksi dengan gelombang besar informasi globalisasi yang destruktif, maka sama halnya kita sedang menyodorkan sesuatu yang kita cintai pada segerombolan srigala.
Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa sekolah dan guru hanyalah membantu kita untuk mencerdaskan buah hati. Namun tugas ituma justru ada pada orangtua untuk mendisik dan mengawal buah hatinya.
Figur Teladan dan Mencintai al-Quran
Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya anak akan berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya.
Sejak lahir anak akan memperhatikan perilaku kedua orangtuanya. Oleh karena itu, cara efektif yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah berusaha menjadi figur yang baik.
Menampilkan uswah (keteladanan) dan sebisa mungkin tidak menampilkan sikap diri yang kurang baik atau negatif.
Selain itu, pesan penting yang Rasulullah saw wasiatkan kepada umatnya ialah agar berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan sunnah beliau.
Dalam penuturan Dr. Ir. Muhammad al-Husaini Ismail, seorang intelektual Mesir yang sempat mengalami keguncangan pemikiran dan kemudian memilih untuk istiqomah dalam keimanan menyatakan bahwa, “Di hadapan al-Qur’an akal dan kemampuan manusia tak lebih dari segerombolan para kurcaci.”
Artinya seluruh persoalan yang dihadapi manusia, al-Qur’an memberikan solusi. Selanjutnya bergantung pada manusia itu sendiri, mau mempelajarinya atau tidak.
Pernyataan tersebut sudah cukup mewakili bahwa setiap keluarga muslim wajib mencintai al-Qur’an. Mencintai dalam hal ini ialah senantiasa membudayakan iqra al-Qur’an (membaca al-Qur’an, memahami, mengamalkan dan berusaha mengajarkan kepada yang lain). Dengan demikian maka kita bisa menjadi seorang Muslim yang benar-benar hidup dengan al-Qur’an sebagai pedoman.
Iringilah dengan doa
Seorang Muslim yang baik tentu tidak pernah lepas dari budaya menghamba kepada Allah SWT. Doa bukan sekedar pelengkap keimanan, justru doa itulah senjata utama setiap muslim. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa seriusnya para nabi berdoa. Sembari berusaha para nabi tak pernah jemu berdoa.
Nabi Ibrahim misalnya, dia adalah nabi yang senantiasa berdoa agar Allah menganugerahkan kecerdasan (berupa ketauhidan dan kesholehan) bagi keturunannya.
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua (Nabi Ibrahim dan putranya Ismail) orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu." (QS.2: 128 ).
Beliau juga berdoa: "Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku, sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. wahai Rabbku, kabulkanlah doaku." (QS. 14: 40).
Nabi ibrahim juga memohon kepada Alloh agar diri dan keturunan beliau dijauhkan dari kemaksiatan terbesar kepada Alloh, yaitu kesyirikan. Beliau memohon:
رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
"Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala." (QS. 14: 35).
Demikianlah pelajaran yang dapat kita petik akan urgensi sebuah doa. Sebab Doa memiliki peranan penting dalam kehidupan setiap manusia. Saatnya berlomba-lomba mencerdaskan dan mendidik anak-anak kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar
Anak adalah warisan kita setelah mati kita. Jika ia tumbuh menjadi musyrikin, dapatkan do'a ampunannya untuk kita terkabul?
BalasHapusAL HAMDULILLAH! akhirnya Ummu Tsalji ikut-ikutan buat blog. G mana, seru kan?
BalasHapusAdalah sangat prihatin bila orang tua melalaikan anak dari Al Qur'an dan Tauhid
BalasHapus