1.Bersenang-senang dengan istri yang sedang haidh diperbolehkan kecuali berjima’.
Salah satu sebab turunnya ayat (asbaabun nuzul) dari surat Al-baqarah ayat 222 adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
Dari Anas radhiyallahu anhu bahwasanya orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haidh, mereka tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam rumah.Lalu sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam bertanya, kemudian Allah Azza wajalla menurunkan firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah,”Haidh itu adalah kotoran”.Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi dari wanita (istri-istri) yangsedang haidh ….hingga akhir ayat.Lalu Rasulullah bersabda: berbuatlah apasaja kecuali bersetubuh” dan dalam satu lafazh dikatakan ”kecuali jima” (HR.Jama’ah kecuali Bukhari)
Sedangkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
Dari Anas bahwa apabila istri Yahudi haidh, maka dia tidak mengajak bergaul dan tidak menempatkannya dalam satu rumah. Kemudian para sahabat bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam, maka turunlah ayat,”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh,….dstnya” kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda,”lakukanlah segala hal terhadapnya kecuali berjima”. Kemudian informasi itu disampaikan kepada kaum Yahudi.Maka mereka berkata,”Tidak ada satu perkara pun yang diserukan oleh orang ini (Muhammad) melainkan kami akan menyalahinya.”Kemudian datanglah Asid bin Khidir dan Ibad bin Basyar seraya bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum yahudi mengatakan begini dan begitu.Apakah kami tidak boleh menggauli istri? ”maka berubahlah air muka Rasulullah sehingga kami menduga bahwa beliau marah kepada keduanya.Kemudian keduanya keluar dan menerima pemberian susu untuk Rasulullah. Setelah keduanya pergi, Rasul menyuruh seseorang untuk memberikan susu pemberian itu. Maka keduanya tahu bahwa beliau tidak marah kepada mereka”(1)
Hadits diatas merupakan pegangan atau dalil bagi para suami tentang apa saja yang bisa mereka perbuat terhadap istrinya ketika haidh segala sesuatu diperbolehkan (bersenang-senang) dengannya kecuali berjima atau bersetubuh. Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan tentang arti ayat:”Fa’taziluun nisaa’a fil mahiidh…” maka jauhilah wanita (istri) yang sedang haidh…” bahwa maksudnya adalah ”Allah melarang mendekatinya dalam arti menjima’nya selama dia masih haidh.”(2)hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syaukani dalam menjelaskan arti dari ayat tersebut beliau berkata maksudnya menjauhi dari menyetubuhi mereka(3)
Selain dua hadits diatas yang menjelaskan bolehnya suami berbuat apa saja yang dia sukai dari istrinya yang sedang haidh kecuali jima’(bersetubuh) maka ada beberapa tambahan hadits lain yang menjelaskan tentang hal ini yaitu:
hadits pertama,
Dan, dari Ikrimah dari sebagian istri-istri Nabi shalallahu alaihi wassalam bahwa “Nabi apabila ia menghendaki sesuatu dari istrinya yang sedang haidh, maka ia letakkan sesuatu diatas farjinya”(HR.Abu Daud)
hadits kedua,
Dan dari Masruq bin Al-Ajda, ia berkata: ”Saya bertanya kepada Aisyah:Apa yang boleh dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid? Ia menjawab: Apa saja boleh kecuali farjinya (kemaluannya)” (H.R.Bukhari, didalam tarikhnya)
hadits ketiga,
Dan dari Hizam bin Hakim, dari pamannya bahwasanya ia bertanya kepadaRasulullah Shalallahu alaihi wassalam; Apa yang halal bagiku terhadap istriku yang sedang haidh? Rasulullah menjawab:”Boleh apa yang diatas kain” (HR.Abu Daud)
Ibnu Taimiyyah berkata: Pamannya adalah: Abdullah bin Sa’ad.
hadits keempat,
Dan dari Aisyah, ia berkata: “Adalah seorang doantara kami apabila berhaidh, Lalu Rasulullah ingin tidur bersama-sama ia memerintahkannya untuk menutupi dengan kain didaerah haidhnya kemudian ia tidur bersama-sama”(H.R.Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
hadits kelima,
Dari Aisyah, ia berkata:Pernah Rasulullah shalallahu alaihi wassalm menyuruh saya berkain saja lalu ia sentuhkan badannya dengan badan saya, padahal saya sedang haidh”(mutafaq alaih)
Kemudian mari kita lihat penjelasan (syarah) dari hadits diatas menurut Imam Asy-syaukani dalam kitabnya Nailul Authar:
Sabda Nabi Shalalahu alaihi wassalam ”Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh” itu maksudnya adalah”Hadits ini menunjukkan adanya dua hukum, yaitu: haram bersetubuh dan boleh berbuat selainnya.Dan, selain bersetubuh itu ada dua macam yaitu:
- Menyentuh-nyentuhkan kemaluan diatas pusar dan dibawah lutut, mencium, berpeluk-pelukan, meraba-raba atau lainnya.Yang demikian itu halal dengan ittifaq (kesepakatan) ulama-ulama islam.
- Bermain diantara pusar dan lutut.Dalam hal ini ada tiga pendapat menurutnrekan-rekan Asy-Syafi’ie.Yang paling masyhur diantaranya adalah haram, kedua tidak haram tapi makruh dan ketiga, apabila laki-laki itu dapat menguasai diri tidak sampai mengenai kemaluan (farji), boleh tetapi apabila ia tidak tahan maka tidak boleh.Yang berpendapat haram adalah, Malik dan Abu Hanifah.dan, ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Dan oleh hadits Aisyah yang mengandung perintah untuk memakai kain kalau hendak bermain-main, dan juga perkataan Aisyah sendiri dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
”siapakah diantara kamu yang dapat menguasai kehendaknya sebagaimana rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang sanggup menguasai dirinya?”
Sangat jelas jadinya setelah kita membaca pembahasan diatas bahwa suami bebas berbuat apa saja yang dia sukai apabila dia bisa mengontrol dirinya bila tidak maka hendaknya perbuatan itu dihindari agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan Allah.Lalu bagaimana jadinya apabila suami terlanjur menyetubuhi istrinya?? apakah yang harus dia lakukan??
Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita lihat fatwa dari ulama(masyayikh) tentang hal ini.
Apakah yang wajib ditunaikan bila menggauli wanita(istri) yang sedang haidh?
" diwajibkan bagi orang yang berkumpul dengan wanita haidh mengeluarkan satu dinar atau setengahnya sebagai kaffarah.dan, pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (haditsnya berbunyi demikian:Dari Ibnu Abbas dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia sedang haidh yaitu hendaknya ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.(HR.Imam yg lima) dan Abu daud berkata: Demikianlah (tetapi) riwayat yang shahih adalah:Nabi berkata: Satu dinar atau setengah dinar)Dan ini merupakan pendapat yang kuat karena sebagaimana kaffarah itu dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan sumpah maka ia juga terdapat pada perbuatan-perbuatan maksiat dengan maksud untuk meringankannya, dan ia termasuk kesempurnaan taubat dari perbuatan-perbuatan maksiat.(4)
2. Seorang suami dapat makan bersama-sama dengan istrinya yang sedang haidh dan bahwa air liur perempuan haidh itu suci.
Seorang suami tidaklah mengapa ia makan bersama-sama dengan sang istri dalil yang menunjukkan kebolehan tentang hal ini adalah:
”dan dari Abdullah bin Sa’ad ia berkata:Aku bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam tentang makan bersama-sama dengan perempuan yang haidh lalu ia menjawab: Makanlah bersama-sama dia”(HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Selain itu seorang suami juga dapat makan dari bekas gigitan istrinya ataupun dapat minum dari gelas bekas istrinya minum.Dalilnya adalah:
”Dari aisyah, ia berkata:Aku pernah minum, padahal aku sedang haidh, lalu aku memberikan kepada Rasulullah alaihi wassalam kemudian ia meletakkan mulutnya ditempat bekas mulutku, lantas ia minum Dan aku pernah menggigit-gigit daging yang masih melekat ditulang, lalu aku berikan kepada RAsulullah kemudian ia meletakkan mulutnya ditempat bekas mulutku.(HR.Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi)
Imam Syaukani mengomentari hadits diatas dengan berkata:Hadits itu menunjukkan bahwa ludah perempuan yang haidh itu suci, begitu juga liurnya yang ada pada makanan dan minuman adalah suci.Dan aku tidak mengetahui adanya perselisiah pendapat dalam hal ini.
Selesai sudah pembahasan diatas semoga kita semua dapat mengambil manfaatnya.Wallahu’alam bisshowwab.
Catatan kaki
- Ringkasan tafsir Ibnu Katsir 1/360
- ibid, 1/361
- Terjemah Nailul Authar,1/259
- Fatwa-fatwa Wanita Muslimah, hal 168
- Al-Qur’anul Karim
- Ringkasan tafsir Ibnu Katsir,GIP, Jakarta
- Terjemah Bulughul Maram, A.Hassan,Pustaka Tamam,Bangil.
- Fatwa-fatwa Wanita Muslimah, oleh Masyayikh,Darul Falah,Jakarta
- Terjemah Nailul Authar, Imam Syaukani,Bina Ilmu,Surabaya.